Sabtu, 07 April 2012

Hakikat Reformasi Birokrasi

Reformasi
Kata reformasi sampai saat ini masih menjadi idola atau primadona yang didambakan perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka  terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186).
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.
Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization.

 
Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien. 
Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan konsep engineering yang diadaptasi dari sektor privat, yang kemudian dalam perkembangannya diterapkan dalam sektor publik yakni pemerintah. Apabila membicarakan efektivitas dan efisiensi maka harus dihubungkan dengan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. 
Dalam pelayanan publik apabila kedua hal diperbandingkan maka efektivitas jauh lebih penting dari efisiensi. Suatu pelayanan publik yang tidak efisien masih dapat dimaklumi sepanjang pelayanan itu efektif bagi masyarakat (Putra :19).
Efektivitas dapat dilihat dari 3 pendekatan yakni (Putra:22)
·            Pendekatan Sasaran (goal approach), mengukur efektivitas dari segi output.
·            Pendekatan Sumber (system resource approach), melihat dari inputnya
·            Pendekatan Proses (process approach), yakni menekankan pada faktor internal organisasi publik, seperti efisiensi dan iklim organisasi.
Akan tetapi walaupun pelayanan publik lebih menekankan efektivitas daripada efeisiensi, dalam tataran praktis konsep efektivitas tidak dapat dipisahkan dari konsep efisiensi. Unsur efisiensi adalah salah satu determinan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan  bisa dikategorikan efektif atau tidak sebagaimana pendekatan ketiga.
Birokrasi
Sementara itu Birokrasi diartikan sebagai kekuasaan atau pengaruh dari para kepala dan staf biro pemerintah. Dalam pengertian selanjutnya birokrasi adalah pegawai pemerintah, yang menjalankan dan menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program pembangunan, pelayanan publik, dan penerapan kebijakan pemerintah, yang biasanya disebut pegawai Sipil (Rozi:10). Dalam hal di Indonesia lebih dikenal dengan istiah Aparatur Pemerintah.
Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang dipercaya  dan diberi mandat oleh negara  dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan ukurannya antara lain adalah seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat baik dibidang kesehatan, pendidikan dan lainnya (Gaspersz:203).
Birokrasi  dalam pengertian keseharian selalu dimaknai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat (Tjokrowinoto:112). Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani orang banyak. Walaupun persepsi ini mengandung titik–titik kelemahan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakili oleh institusi birokrasi tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan. Pemaknaan birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas tentu merupakan pemaknaan yang bersifat idealis, dan pemaknaan ideal terhadap fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi tidaklah  bisa menjelaskan orientasi birokrasi.
Pola patron-client yang kental menjadikan ciri birokrasi menjadi berdampak mematikan inisiatif masyarakat, kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien, karena praktek birokrasi yang terlalu hirearkis sehingga keputusan selalu ada di pejabat atas. Hal ini akan berakibat juga kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi dalam memberikan pelayanan menjadi kurang, sehingga pelayanan dinilai oleh masyarakat menjadi lamban dan berbelit-belit. Segi yang lain terjadilah pelayanan yang high cost karena agar cepat client diwajibkan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang sengaja dibuat agar menyulitkan pelanggan (Rozi:127).
Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang terlalu jauh dengan kelompok sasarannya yakni publik dan pengguna jasa layanan, sehingga rakyat  nyaris dalam situasi yang tidak berdaya  (powerless) dan tidak memiliki pilihan (Tjokrowinoto:33). Dengan kondisi yang demikian itulah maka  penerapan organisasi pelayanan publik yang berorientasi  pada kemanusiaan akan sulit dilakukan. Budaya dasar birokrasi lebih banyak bersandar pada etos feodalisme.
Lalu pertanyaanya bagaimana upaya yang dilakukan agar birokrasi mampu melaksanakan misi utama yakni memberikan pelayanan secara efektif dan efisien kepada masyarakat. Jawabannya harus dengan melakukan perubahan atau reformasi, bukan saja terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur, sikap dan tingkah laku / etika (the ethics being).
Upaya reformasi yang berkaitan dengan proses dan prosedur relatif lebih mudah dilakukan, karena sebagian besar berkait dengan proses adminiistrasi, akan tetapi yang lebih fundamental adalah bagaimana melakukan perubahan sikap dan perilaku(the ethics being), sehingga birokrasi sebagai mesin pemerintah dapat berjalan dengan baik menuju ke tujuan yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat tanpa melakukan hal-hal yang tidak baik yang  bertentangan dengan moral dan etika.
Dimensi etika berkaitan dengan  skill based issues yang selama ini kurang tersentuh sebagai wacana perubahan. Terlebih di Indonesia dimana masyarakatnya adalah masyarakat paternalistik yang banyak bergantung pada dimensi para pemimpin sebagai panutan, termasuk didalamya dalam melakukan tugas penyelenggaraan negara.
Dalam konteks ini etika merupakan nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku tindakan dan ucapannya dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan fungsinya. Suatu profesi selalu memerlukan landasan etika yang menjadi acuan untuk bertindak anggotanya sehingga citra, kehormatan dan eksisitensinya terjaga.
Pernyataan moral merupakan sesuatu yang normatif (Milwan : 5), pernyataan normatif berarti mengandung penilaian apa yang baik dan apa yang buruk. Sebagaimana disitir dari Sunaryati Hartono, makna etika mengandung moral, keinginan untuk maju, semakin sejahtera dan semakin makmur dan hidup tertatur damai, sebagai perilaku, baik masyarakat dan negara.
Oleh karenanya maka setiap penyelenggara negara harus berakhlak mulia, tepat janji, jujur, disiplin, adil, taat hukum, hati-hati dan cermat, sopan santun, dan kesetaraan. Untuk dapat melakukan itu maka perubahan cara berfikir birokrasi harus dilakukan.
Perubahan etika ini akan berkaitan dengan perubahan budaya organisasinya yakni budaya yang diperlakukan sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang dilandasi oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas pekerjannya setiap hari. Pelaksanaan budaya kerja ini seharusnya dilakukan sebagai langkah awal dalam melaksanakan reformasi birokrasi.
Birokrasi sebagai komponen pemerintah harus dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public service).
Birokrasi harus netral dan bukan sebagai alat politik, sehingga ia bebas  untuk bersinergi dan berinteraksi dengan customer’s oriented yang pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk masyarakat. Netral dalam arti siap menjadi pelayan publik yang bebas dari intervensi kekuatan politik.
Untuk melaksanakan konsep etika sebagaimana tersebut diatas maka Denhardt sebagaimana dikutip oleh Sugiyanto (2004: 30) melakukan strategi sebagai berikut:
1.     Membangun iklim etika dalam organisasi publik, strategi ini mengisyaratkan pentingnya membangun perilaku etis aparat publik melalui kekuatan kepemimpinan(strong leadership) dalam menciptakan iklim beretika, sehingga etika dijadikan sesuatu yang bernilai dan mendorong upaya ke arah penciptaan  komunikasi yang terbuka. Karena bagaimanapun terlebih di Indonesia pemimpin adalah model bawahannya.  Mengelola etika bukan sekedar membuat standar-standar berperilaku dan merekrut pegawai yang berkarakter moral tetapi juga termasuk menganalisis budaya organisasi, kerja sama untuk membangun budaya  yang menjadikan nilai yang tinggi akan integritas etika, mengembangkan kebijakan, prosedur serta sistem yang memungkinkan anggotanya mempunyai integritas etika.
2.     Mengembangkan Ethics Audit,  yakni suatu metode untuk menilai standar moral yang  dijadikan pedoman perilaku dalam organisasi dan termasuk penilaian untukmereview aktivitas orang-orang dalam organisasi.
3.     Mengembangkan training program etika pemerintahan, dengan harapan dapat menjamin  sosialisasi dan internalisasi etika bagi pegawai. Termasuk didalamnya adalah membangkitkan semangat moral para aparat untuk menjadikan etika sebagai acuan berperilaku melalui komunikasi.
4.     Mengembangkan  standar berperilaku yang membatasi tindakan aparat publik, dengan cara meregulasi standar-standar perilaku yang telah menjadi prioritas dalam mengelaborasi nilai-nilai dasar moral.
5.     Menjamin   integritas etika dalam pekerjaan sehari-hari dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang menjamin transparansi dan integritas etika, rekrutmen  dan promosi berdasarkan meryt system dan pertimbangan etika, membuat regulasi, kontrol, dan rotasi jabatan yang ketat, dan membuat kebijakan-kebijakan yang transparan yang dapat meminimalisir konflik.
6.     Mengambil tindakan tegas  terhadap bentuk-bentuk penyelewengan.
Dengan demikian maka dimensi etika dalam pemerintahan harus dipahami secara jelas dan benar bahwa etika  adalah disiplin ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip moral dan bagaimana prinsip-prinsip moral tersebut dapat diterapkan. Oleh karenanya dalam etika bukan sekedar formulasi norma-norma  yang akan disepakati bersama akan tetapi juga berbicara mengenai strategi aplikasi dan pentingnya aspek manajerial yang akan menjadikan etika sesuatu yang dinamis dan realistik.
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar