Reformasi
Kata reformasi sampai saat ini masih menjadi idola atau
primadona yang didambakan perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Reformasi ini diarahkan pada
perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam
pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan
masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim
sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah
berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada
kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini
akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan
masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya
perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari
aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara
tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan
kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto:
185-186).
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu
usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah
struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.
Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai
suatu proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap serta
tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan
pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization.
Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya
tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan
pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the
ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah
tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien.
Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan konsep engineering yang diadaptasi dari sektor
privat, yang kemudian dalam perkembangannya diterapkan dalam sektor publik
yakni pemerintah. Apabila membicarakan efektivitas dan efisiensi maka harus
dihubungkan dengan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan
tersebut.
Dalam pelayanan publik apabila kedua hal diperbandingkan
maka efektivitas jauh lebih penting dari efisiensi. Suatu pelayanan publik yang
tidak efisien masih dapat dimaklumi sepanjang pelayanan itu efektif bagi
masyarakat (Putra :19).
Efektivitas dapat dilihat dari 3 pendekatan yakni
(Putra:22)
·
Pendekatan
Sasaran (goal approach),
mengukur efektivitas dari segi output.
·
Pendekatan
Sumber (system resource
approach), melihat dari inputnya
·
Pendekatan
Proses (process approach), yakni menekankan pada faktor internal
organisasi publik, seperti efisiensi dan iklim organisasi.
Akan tetapi walaupun pelayanan publik lebih menekankan
efektivitas daripada efeisiensi, dalam tataran praktis konsep efektivitas tidak
dapat dipisahkan dari konsep efisiensi. Unsur efisiensi adalah salah satu
determinan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan bisa dikategorikan efektif atau
tidak sebagaimana pendekatan ketiga.
Birokrasi
Sementara itu Birokrasi diartikan sebagai kekuasaan atau
pengaruh dari para kepala dan staf biro pemerintah. Dalam pengertian
selanjutnya birokrasi adalah pegawai pemerintah, yang menjalankan dan
menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program
pembangunan, pelayanan publik, dan penerapan kebijakan pemerintah, yang
biasanya disebut pegawai Sipil (Rozi:10). Dalam hal di Indonesia lebih dikenal
dengan istiah Aparatur Pemerintah.
Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang
dipercaya dan diberi mandat
oleh negara dan rakyat
untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana
kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan ukurannya
antara lain adalah seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat baik
dibidang kesehatan, pendidikan dan lainnya (Gaspersz:203).
Birokrasi dalam pengertian keseharian selalu
dimaknai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan
kepentingan masyarakat (Tjokrowinoto:112). Segala bentuk upaya pemerintah dalam
mengeluarkan produk kebijakannya semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari
fungsi melayani orang banyak. Walaupun persepsi ini mengandung titik–titik
kelemahan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakili oleh institusi
birokrasi tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan. Pemaknaan
birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas tentu merupakan
pemaknaan yang bersifat idealis, dan pemaknaan ideal terhadap fungsi pelayanan
yang diperankan birokrasi tidaklah bisa
menjelaskan orientasi birokrasi.
Pola patron-client yang kental menjadikan ciri birokrasi
menjadi berdampak mematikan inisiatif masyarakat, kualitas pelayanan masyarakat
menjadi tidak efisien, karena praktek birokrasi yang terlalu hirearkis sehingga
keputusan selalu ada di pejabat atas. Hal ini akan berakibat juga kreativitas,
inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi dalam memberikan pelayanan menjadi
kurang, sehingga pelayanan dinilai oleh masyarakat menjadi lamban dan
berbelit-belit. Segi yang lain terjadilah pelayanan yang high cost karena agar cepat client diwajibkan untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan yang sengaja dibuat agar menyulitkan pelanggan
(Rozi:127).
Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang terlalu jauh dengan kelompok
sasarannya yakni publik dan pengguna jasa layanan, sehingga rakyat nyaris dalam situasi yang tidak
berdaya (powerless) dan tidak memiliki pilihan (Tjokrowinoto:33).
Dengan kondisi yang demikian itulah maka penerapan organisasi pelayanan publik
yang berorientasi pada
kemanusiaan akan sulit dilakukan. Budaya dasar birokrasi lebih banyak bersandar
pada etos feodalisme.
Lalu pertanyaanya bagaimana upaya yang dilakukan agar
birokrasi mampu melaksanakan misi utama yakni memberikan pelayanan secara
efektif dan efisien kepada masyarakat. Jawabannya harus dengan melakukan
perubahan atau reformasi, bukan saja terbatas pada proses dan prosedur, tetapi
juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur, sikap dan tingkah laku / etika (the ethics being).
Upaya reformasi yang berkaitan dengan proses dan
prosedur relatif lebih mudah dilakukan, karena sebagian besar berkait dengan
proses adminiistrasi, akan tetapi yang lebih fundamental adalah bagaimana
melakukan perubahan sikap dan perilaku(the ethics being), sehingga
birokrasi sebagai mesin pemerintah dapat berjalan dengan baik menuju ke tujuan
yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat tanpa melakukan hal-hal yang tidak
baik yang bertentangan
dengan moral dan etika.
Dimensi etika berkaitan dengan skill based issues yang
selama ini kurang tersentuh sebagai wacana perubahan. Terlebih di Indonesia
dimana masyarakatnya adalah masyarakat paternalistik yang banyak bergantung
pada dimensi para pemimpin sebagai panutan, termasuk didalamya dalam melakukan
tugas penyelenggaraan negara.
Dalam konteks ini etika merupakan nilai-nilai moral yang
mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku
tindakan dan ucapannya dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan fungsinya.
Suatu profesi selalu memerlukan landasan etika yang menjadi acuan untuk
bertindak anggotanya sehingga citra, kehormatan dan eksisitensinya terjaga.
Pernyataan moral merupakan sesuatu yang normatif (Milwan
: 5), pernyataan normatif berarti mengandung penilaian apa yang baik dan apa
yang buruk. Sebagaimana disitir dari Sunaryati Hartono, makna etika mengandung
moral, keinginan untuk maju, semakin sejahtera dan semakin makmur dan hidup
tertatur damai, sebagai perilaku, baik masyarakat dan negara.
Oleh karenanya maka setiap penyelenggara negara harus
berakhlak mulia, tepat janji, jujur, disiplin, adil, taat hukum, hati-hati dan
cermat, sopan santun, dan kesetaraan. Untuk dapat melakukan itu maka perubahan
cara berfikir birokrasi harus dilakukan.
Perubahan etika ini akan berkaitan dengan perubahan
budaya organisasinya yakni budaya yang diperlakukan sebagai sikap dan perilaku
individu dan kelompok aparatur negara yang dilandasi oleh nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam
melaksanakan tugas pekerjannya setiap hari. Pelaksanaan budaya kerja ini
seharusnya dilakukan sebagai langkah awal dalam melaksanakan reformasi
birokrasi.
Birokrasi
sebagai komponen pemerintah harus dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada
fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public
service).
Birokrasi harus netral dan bukan sebagai alat politik,
sehingga ia bebas untuk bersinergi
dan berinteraksi dengan customer’s
oriented yang pada hakikatnya
adalah kepentingan pelayanan untuk masyarakat. Netral dalam arti siap menjadi
pelayan publik yang bebas dari intervensi kekuatan politik.
Untuk
melaksanakan konsep etika sebagaimana tersebut diatas maka Denhardt sebagaimana
dikutip oleh Sugiyanto (2004: 30) melakukan strategi sebagai berikut:
1.
Membangun
iklim etika dalam organisasi publik, strategi ini mengisyaratkan pentingnya
membangun perilaku etis aparat publik melalui kekuatan kepemimpinan(strong
leadership) dalam menciptakan
iklim beretika, sehingga etika dijadikan sesuatu yang bernilai dan mendorong
upaya ke arah penciptaan komunikasi
yang terbuka. Karena bagaimanapun terlebih di Indonesia pemimpin adalah model bawahannya. Mengelola etika bukan sekedar
membuat standar-standar berperilaku dan merekrut pegawai yang berkarakter moral
tetapi juga termasuk menganalisis budaya organisasi, kerja sama untuk membangun
budaya yang menjadikan
nilai yang tinggi akan integritas etika, mengembangkan kebijakan, prosedur
serta sistem yang memungkinkan anggotanya mempunyai integritas etika.
2.
Mengembangkan Ethics Audit, yakni suatu metode untuk menilai
standar moral yang dijadikan
pedoman perilaku dalam organisasi dan termasuk penilaian untukmereview aktivitas orang-orang dalam
organisasi.
3.
Mengembangkan training program etika pemerintahan, dengan harapan
dapat menjamin sosialisasi
dan internalisasi etika bagi pegawai. Termasuk didalamnya adalah membangkitkan
semangat moral para aparat untuk menjadikan etika sebagai acuan berperilaku
melalui komunikasi.
4.
Mengembangkan standar berperilaku yang membatasi
tindakan aparat publik, dengan cara meregulasi standar-standar perilaku yang
telah menjadi prioritas dalam mengelaborasi nilai-nilai dasar moral.
5.
Menjamin integritas etika dalam pekerjaan
sehari-hari dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang menjamin transparansi
dan integritas etika, rekrutmen dan
promosi berdasarkan meryt
system dan pertimbangan
etika, membuat regulasi, kontrol, dan rotasi jabatan yang ketat, dan membuat
kebijakan-kebijakan yang transparan yang dapat meminimalisir konflik.
6.
Mengambil
tindakan tegas terhadap
bentuk-bentuk penyelewengan.
Dengan demikian maka dimensi etika dalam pemerintahan
harus dipahami secara jelas dan benar bahwa etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari
prinsip-prinsip moral dan bagaimana prinsip-prinsip moral tersebut dapat
diterapkan. Oleh karenanya dalam etika bukan sekedar formulasi
norma-norma yang akan
disepakati bersama akan tetapi juga berbicara mengenai strategi aplikasi dan
pentingnya aspek manajerial yang akan menjadikan etika sesuatu yang dinamis dan
realistik.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar